3.12.09

#10 (cerpen lama)

Ketika aku sedang asyik melihat warna-warni yang terus melingkar di balik mata terpejamku, tiba-tiba kudengar suara angin ribut.
Pasir-pasir disekitarku berlomba mengejar untuk menerjangku. Membuat suatu formasi besar dan terus berputar. Kupikir, apakah akan ada tsunami sebentar lagi? Visiku langsung memikirkan kematian, sakratul maut, nafas terakhir dalam hidupku. Bagaimana rasanya mati? Bagaimana paniknya aku? Apa yang pertama kali aku lihat ketika aku tidak berwujud lagi? Pengadilan yang bagaimana? Siksaan apa? Jalan apa? Surga atau neraka? Sial!

Aku berada ditengah topan pasir. Pasir-pasir kecil itu sekarang mempunyai kekuatan besar dan dengan mudahnya menyakiti kulitku. Mereka bersemangat sekali untuk berganti peran, menginjak-injak aku yang selalu bergulingan diatas mereka. Mereka ingin mengendalikan aku. Tidak! Jangan!
Dengan penuh paksaan mereka menusuk-nusuk mataku. Mereka menjadi hirupan nafasku. Masuk lewat telingaku, mulutku, kemaluanku.


Mereka meracuni pikiranku. Aku penuh. Aku berat. Aku terbebani... Ini terasa sangat menyakitkan. Kenapa harus aku yang merasakan seperti ini?
Saat ini aku bingung apakah aku akan terselamatkan? Oleh siapa? Tidak ada satupun orang yang melewati pantai ini. Apakah aku akan ditemukan di muara terakhir saat matahari menjelang? Atau aku terkubur dalam-dalam di bawah pasir hingga tidak ada satu binatangpun yang mencium bau busuk jasadku..
Aku tidak mau mati dengan cara seperti itu!
Aku mau dikenang. Aku mau mati elit. Seperti di rumah sakit karena suatu komplikasi. Sebelumnya aku mau banyak beramal untuk anak-anak yatim piatu ataupun menulis buku biografiku. Dan tidak lupa, aku harus mempersiapkan beberapa karya seni sebelum aku mati sebagai warisan dana untuk anak cucuku. Mereka dapat bersyukur akan kematianku. Aku ingin kuburanku mempunyai kompleks yang luas, yang paling dekat dengan pompa air dan dibawah pohon kamboja yang rindang. Agar khalayak ramai yang menagisi kematianku dapat dengan khusuk mengantarkan kepergianku.

Apa artinya aku mati kalau tidak ada satupun yang mengetahuinya?
Tanpa ada satupun yang mengenangku?

Kalau begitu, rasanya hidupku hanya tercatat didalam kantor kelurahan saja.


Aku merangkak menjauhi pantai. Dan sepertinya pusaran pasir tersebut sudah jenuh bermain-main dengan aku.
Aku susah melihat. Bulan purnama terlihat seperti bola lampu di kejauhan yang sudah hampir padam. Air mataku mengalir. Ingusku keluar. Respon otomatis yang cukup gesit untuk mengurangi kepedihanku. Luka akan sembuh seiring waktu. Seiring ku dapat menyesuaikan diri. Seiring ku dapat mengendalikan diri.

Aku berlari menuju bilik. Menuju tempat teramanku. Menuju panggilan hatiku. Aku berlari membelah hutan, berkelok-kelok. Sering aku terperosok karena pandanganku buram, nafasku terengah-engah. Tetapi aku ingin pulang. Aku harus pulang. Aku takut. Ingin kuberitahu orang rumah apa yang terjadi pada diriku tadi. Apa yang kualami, apa yang kulihat. Aku mencari orang untuk membangunkanku dari mimpi ini! Seringkali aku mengeluarkan liur untuk membuang sisa pasir. Aku terus berlari. Keringat bercucuran membasahi pakaianku.

Gapura yang kukenal. Bau tanah yang selalu kuhirup seumur hidupku. Rumah tanpa pagar yang menjadi naungan. Aku kembali ke tujuanku.
Rasa aman kembali menyelimutiku.
"Ibu.."
"Bu..?"
Kuketuk pintu rumah perlahan, berusaha membangunkan ibu. Aku ingin dipeluknya. Aku ingin diketeki ibu.
"TOK TOK TOK..."
Aku mengetuk semakin keras.. semakin cepat.. dan semakin tak sabar.
"Ibu! Buka bu... bangun..."
"Ayah!!! Yah!! Dik!!! Adik!!! Bukakan pintu!"
Aku mulai panik. Kenapa di rumah yang nyaman ini masih bisa kepanikan menyerang? Kalau begitu dimanakah tempat yang dapat menenangkan aku?
Aku mulai menggedor dan akhirnya menggebrak pintu secara paksa.

Kosong.. Semua kosong.Lampu juga padam.

Kemana mereka? Aku tergesa memeriksa kamar mereka, dapur, kamar mandi... Di rumah petak ini mustahil mereka dapat mengumpat. Ini bukan waktu bercanda! Kemana mereka di pagi buta begini? Kenapa mereka meninggalkan aku?

Aku menangis sejadi-jadinya. Banyak petir menyambar jantungku. Kerikil berusaha masuk ke kerongkonganku yang kering. Aku merasa mual. Mual sejadi-jadinya. Aku memuntahkan pasir hingga segunungan besar. Aku muntah pasir sambil menangis..

Tergesa kuhampiri rumah-rumah tetangga. Semuanya kosong! Semuanya tidak berpenghuni. Poskamling juga tidak ada yang jaga. Hanya tersisa sebuah kentungan dan sarung yang menggantung.

Desa ini gelap gulita. Desa ini desa mati.

Disini hanya ada aku.
Aku.
AKU.

Aku akan menemani diriku sendiri.
Aku akan berbicara dengan diriku sendiri.
Aku akan meminta sebuah saran dengan diriku sendiri.

"Sekarang apa yang akan kita lakukan?"
"Kita? Kamu kali.."
"Aku menganggap kita ini dua yang dijadikan satu.. Kamu kan yang sering tidak menyutujui keinginanku. kamu pula yang suka maksa aku ketika aku tidak mau."
"Loh, kenapa kamu menyalahkan aku? Kamu saja yang bodoh. Kamu tidak dapat menerima dirimu sendiri"
"Semua ini gara-gara kamu! Ulah kamu membuat ibu, ayah, adik dan semua yang kukenal menjauhiku! Menghilang dari hidupku!"
"Kamu!"
"Kamu..!
"Heh, kamu!
"Bukan aku, bangsat!

Aku ingin mati!!! Tuhan, aku ingin mati! Apa artinya aku hidup dengan kenyataan seperti ini?
Malam ini terlalu damai, Tuanku,, Terlalu sunyi.
Saat ini mungkin aku akan sangat bersyukur jika ada orang yang mencuri perabot rumahku. Agar aku dapat mengetahui bahwa masih ada orang disini.
Saat ini aku akan bersyukur masih ada kekacauan di negri ini. Masih ada penjarahan. Masi ada orang minta-minta yang selalu meramaikan jalan.
Karena menjadi sendiri itu menakutkan, Tuan..
Bagaimanapun aku butuh mereka.
Bagaimanapun mereka masih berwujud manusia dan mempunyai keyakinan.

Aku menenggak beberapa butir pil sanax dengan alkohol.Barang-barang ini selalu kupersiapkan di dalam lemariku. Mereka adalah teman yang tak pernah menyudutkanku. Kupejamkan mata, merebahkan diri di kasurku. Kasurku yang hangat, sekarang terasa dingin. Seolah dia sudah tidak mengenal pemiliknya lagi.Aku ingin mengakhiri tugasku di desa yang sepi ini, dan lanjut ke tugas berikutnya. Ijinkan aku.. Lupakan saja teoriku tentang biografi.. lupakan saja teoriku tentang membuat karya seni sebelum mati. Toh aku bekerja ternyata bukan untuk diriku. Tapi untuk mereka.. Omongkosong soal ekspresi jiwa. Ini semua tentang mereka.. Aku terbatuk-batuk, masih ada sisa pasir yang terlempar dari nafasku. Pandanganku memburam. Dan akhirnya gelap sama sekali..

......


Burung berkicauan dan udara terasa segaar sekali. Dengan berat kupaksa kelopak mataku untuk membuka. Arrg..susah... Dengan mata terpejam kudengar banyak suara diluar sana.. Suara tukang sayur, suara menyapu lidi, suara anak-anak berangkat sekolah, dan... suara ibuku! Itu pasti suara ibuku!
"Ibu.. Ibu..!" Aku berusaha bangun tetapi tak satupun anggota badanku yang dapat bergerak. Mata ku paksa sekuat tenaga untuk dapat terbuka..Ayoo! Ayoo.Ahh!! Kenapa aku tidak bisa bangun? Apakah ini mimpi? Tapi semua terdengar sangat nyata! Aku ingin bangun.. "Bismmill.... Argh!
Sampai-sampai berdoa pun aku tidak bisa.. Lidahku tidak bisa mengecap. Bahkan suara dalam hatiku tidak sepenuhnya berfungsi. Bangunkan aku.. Bangunkan aku..


......


Aku terbangun..
Dengan pasir yang menutup tubuhku.
Aku kembali berada di pantai itu. Tetapi kemana ombaknya? Kenapa luar biasa surutnya ketika bulan sedang bulat-bulatnya?

Aku terbangun..
Dan dan menyadari ada ombak setinggi 20 meter menghampiriku.
Tsunami datang.
Aku lari sejadi-jadinya! Aku memang ingin mati, tetapi aku tetap melarikan dari kejarannya!

Dan pelarian hidupku dimulai lagi..




9.30.2008

Tidak ada komentar: