23.6.10

kata seorang gadis kepadaku

"Kalau saja masjid dibangun seindah gereja ini, aku pasti rajin shalat."

20.6.10

147

Tepikan tirai pada jendelamu

Agar sinaran membantumu memandang

Lalu bukalah halaman 147

Bacalah,

Tidak ada satupun yang menyumpahimu

Atau menginginkanmu terkapar dalam duka

Lihat, semua sudah tertuliskan

Maka bukalah halaman 147

12.6.10

Belenggu tak kasat mata

putuskan jalan

Terbakar dalam almari
Gelap samudra
Hidupku adalah keputusannya
Gelas yang berdenting
Tersusun di panjangnya meja berukir
Jangan tanyai dulu
Keputusannya adalah hidupku, jalanku
Putaran tidak boleh berhenti
Atas merintik ketanah
Mata air naik ke surga
Ingat manusia tidak punya waktu lama


13.6.10
Athina

1.6.10

matimuda

Harga yang mahal untuk sekedar membeli ketenangan. .

Apakah tanah ini haus akan air mata?

Lalu tumbuhkah sesuatu?


IT
31-1
5/6
10

marah

Baiklah, kita ikuti permainanmu.
Sudah berkali-kali kamu menjebakku pada jalan buntu di kanal-kanal kotor.
Merejam pundakku dengan serapah batu dan kiblat palsu.
Menyiksa langkah sepetak lantai aspal.
Mata yang melucuti. Bulu dada yang bermekaran. Mulut yang basah. Otak yang basi.
Jalanan tua yang kempis. Gumpalan debu. Sayatan pilox. Lipatan amis.
Coba aku sebisamu!


IT
31-1
5/6
10

Larut

Aku memelukmu lagi hingga kudengar detak jantungku didadamu.
Kubur peta, kompas dan jala yang telah usang. Bibit itulah yang akan tumbuh menjadi beringin raksasa yang teduh ketika matahari meninggi. Dan membuat sesak ketika malam karena akar gantungnya memenuhi paru.
Aku disini, katamu pada mataku. Kita saling mencari hingga terperangkap pada sebuah negeri usang dan kembali rel-rel panjang itulah yang menyambungkan benua. Bukan perahu ternyata.. Tidak ada perahu, ombak, ataupun dermaga. Justru merekalah yang memisahkan waktu. Lalu dibawah teduh besi-besi patri dan kaca, kita berpapasan pada sebuah tangga. Lalu tertawa. Tertawa yang sangat nyata. Tidak lagi aksara.