7.1.10

Zan,,


Jangan katakan padaku, Tuhan
bahwa sore ini aku bersalah
terhadap lelaki bertubuh kurus yang saat ini sedang menunggu di ruang tamu.

Kemeja lengan panjang biru,celana bahan hitam, rambut berbalur minyak, disisir belah pinggir. Dengan kaku dia duduk di kursi kayu itu sambil menggenggam erat tas hitamnya. Tatapan matanya menunjukan kecanggungan. Gesturnya memperagakan ketidakpercayaan diri.

'Siapa dia?'
Aku mengintipnya dari balik dinding sambil bertanya pada penjaga rumah. Dengan segera dia menjawabku sambil berlalu untuk mengambilkan minuman.
'Ya ampun. Lelaki itu.' Terakhir kali aku bertemu ketika dia masih sekolah dasar. Selanjutnya aku hanya mendengar sayup-sayup keberadaannya dari ibunya. Seingatku dia disekolahkan di pesantren Gontor hingga lulus, lalu menyeberang pulau untuk mengajar selama beberapa tahun.

Kami terpaut 6 tahun, seingatku. Aku lebih tua darinya.
Dulu dia anak lelaki yang suka tersenyum jahil, berpipi gembul dan berambut jabrik. Dia sering diajak ikut serta oleh ibunya ke rumahku ketika pelajaran mengaji.
Betul, ibunya adalah guru mengajiku. Aku senang jika ibu guru membawa serta anak-anaknya; lelaki itu dan adik perempuannya. Biasanya pelajaran mengaji jadi lebih cepat selesai dikarenakan aku selalu mentertawai kelakuan anak-anak itu.Konsentrasi pun buyar.

Sore ini, aku masih mengintipnya dari balik tembok.
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Segerak gerikpun.
Belakangan baru kuketahui kalau ibu guruku terkena stroke dan mengamanatkan lelaki itu untuk menggantikan dirinya. Mungkin untuk sementara, mungkin juga untuk seterusnya.
'Duh.'
Suasana ini menjadi tidak mengenakan bagiku. Dan akupun bisa menebak bahwa ini juga tidak mengenakan baginya.
Kami tidak pernah bertemu lagi lebih dari 10 tahun yang lalu. Lalu anak kecil yang dulu sering kugodai karena gigi ompongnya sekarang sudah beralih peran menjadi pria dewasa yang akan mengajariku mengaji?
Canggung sekali!
Rasanya tidak tega jika aku tidak menunjukan keberadaanku sekarang, tetapi tubuhku beraksi lain. Tubuhku bergerak mundur pelan-pelan, mengendap masuk.
Entah kenapa aku tidak berani menemuinya, mengunci diriku di dalam kamar.
Hingga malamnya aku keluar dan memandangi kursi dimana tadi dia duduk.
Dia sudah pergi. Entah perasaan semacam apa yang dibawanya dari rumah ini.

Maafkan aku.
Zan maupun Han.


9.1.10

Tidak ada komentar: